Ketika Aturan Dibenahi dan Jejak Kekuasaan Dipertanyakan: Babak Baru Reformasi Kepolisian Pasca Putusan MK, Di suatu pagi yang masih diselubungi kabut tipis, Jakarta terdengar sedikit lebih sunyi dari biasanya. Di balik gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya matahari awal, ada riak kecil dalam arus politik kebangsaan: Mahkamah Konstitusi memutuskan sesuatu yang lama digunjingkan, lama dipertanyakan, dan lama dipendam di antara tumpukan wacana reformasi institusi negara.
Putusan itu sederhana dalam kalimat, namun luas dalam makna: Kapolri tidak lagi berwenang menugaskan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian. Setelah bertahun-tahun kewenangan ini berjalan tanpa banyak batas, MK akhirnya menegakkan garis tebal—bahwa demarkasi antara ranah sipil dan institusi bersenjata perlu dipulihkan. Bahwa negara hukum membutuhkan pagar yang jelas, bukan sekadar kabur di antara perintah dan peluang.
Garis Baru dalam Struktur Kekuasaan
Selama ini, penugasan polisi aktif ke posisi sipil kerap dianggap solusi instan bagi instansi pemerintah yang kekurangan sumber daya atau membutuhkan “tangan besi” dalam mengelola bidang tertentu. Namun bersamaan dengan itu, muncul kekhawatiran tentang meluasnya peran aparat hingga memasuki ruang-ruang administratif yang seharusnya digarap birokrasi sipil.
Dengan putusan MK tersebut, peta kekuasaan mulai terkoreksi. Tidak ada lagi ruang abu-abu yang memperbolehkan mereka yang berseragam untuk mengendalikan jabatan strategis di luar struktur kepolisiannya. Di satu sisi, ini mengembalikan kemurnian fungsi Polri sebagai alat negara yang menjalankan tugas keamanan dalam negeri. Di sisi lain, ini meneguhkan prinsip bahwa lembaga sipil harus berdiri di atas kewenangan sipil, bukan kewenangan koersif.
Analis kebijakan publik menilai keputusan ini sebagai langkah penting dalam civilian supremacy—sebuah prinsip yang menjadi fondasi negara demokratis. Penempatan personel bersenjata dalam jabatan sipil kerap menimbulkan bias otoritas, konflik kepentingan, hingga ketimpangan prosedural di tubuh pemerintahan. Kini, garis itu dipertegas kembali.
Apa Kata Para Pengamat?
Beberapa pakar menyebut putusan ini sebagai kemenangan gerakan reformasi yang sempat tersendat. Para akademisi hukum menilai bahwa MK telah membuka ruang pembenahan, bukan hanya bagi kepolisian, tetapi juga bagi kultur birokrasi nasional. Reformasi Polri sendiri telah lama menjadi wacana yang naik-turun, mengikuti ritme politik dan perhatian publik.
Ada pula suara lain yang mengingatkan bahwa keputusan hukum hanyalah satu sisi. Implementasinya membutuhkan keberanian, ketegasan administratif, dan komitmen politik yang konsisten. Tanpa itu, putusan MK hanya menjadi teks yang indah, namun tidak membekas di tubuh kelembagaan negara.
Yang menarik, beberapa organisasi masyarakat sipil menyebut putusan ini sebagai “kembalinya akal sehat”. Bagi mereka, negara yang terlalu sering mengandalkan aparat bersenjata dalam urusan sipil adalah negara yang kehilangan fungsi kewargaan. Dengan ditetapkannya pembatasan ini, ruang sipil kembali mendapat napas.
Konstelasi Politik Setelah Putusan
Tidak dapat dipungkiri, keputusan ini mengguncang sebagian struktur yang telah lama nyaman. Sejumlah jabatan yang saat ini ditempati polisi aktif mau tidak mau harus dibicarakan ulang statusnya. Beberapa kementerian dan lembaga harus merombak tata kelola mereka. Ini bukan perubahan kecil; ini restrukturisasi yang efeknya menjalar jauh.
Di ruang-ruang diskusi internal pemerintah, kabarnya sudah muncul peta baru reposisi jabatan. Meski belum diumumkan secara resmi, pergerakan ini menandakan bahwa dunia birokrasi sedang menata ulang dirinya. Semua perlu kembali pada rel yang ditetapkan konstitusi.
Namun, sebagaimana setiap perubahan besar di negeri ini, selalu ada tarik menarik. Ada yang merasa dirugikan, ada yang merasa diuntungkan, dan ada yang menganggap ini momentum untuk membersihkan tumpukan praktik lama yang kurang sehat. Putusan MK menjadi pemantik bagi babak baru: apakah negara siap benar-benar menegakkan pemisahan fungsi sipil dan militer-polisi?
Atau, apakah ia hanya akan menjadi berita hangat semalam?
Masa Depan Reformasi: Harapan di Balik Ketegasan
Jika ditarik lebih jauh, keputusan ini membuka ruang pembicaraan lebih dalam tentang reformasi kepolisian. Masyarakat tak hanya menuntut batas peran; mereka juga menginginkan profesionalisme, transparansi, dan standar etis yang kokoh. Putusan MK tidak menjawab semuanya, tetapi ia memberi landasan untuk melangkah.
Reformasi yang baik adalah reformasi yang bernafas panjang, tidak patah oleh tekanan, tidak goyah oleh pergantian jabatan. Jika negara ingin institusi keamanan yang modern, manusiawi, dan terukur, inilah saatnya memperbaiki pondasi.
Dan di tengah semua itu, publik menunggu—dengan harapan, dengan sedikit curiga, tetapi tetap dengan cinta pada republik yang ingin terus tumbuh dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar