Inilah Syarat Mutlak Calon Pemimpin Daerah - Gubernur (wali) dan wakil gubernur adalah penguasa untuk sebuah wilayah (daerah). Keduanya adalah pejabat pemerintahan (hakim). Memilih mereka harus terikat dengan aturan Syariat, tidak boleh terlena dengan jargon "perubahan" semata.
Di dalam Islam, gubernur tidak dipilih oleh rakyat. Tetapi diangkat oleh kepala negara (khalifah). Imam al Mawardi dalam kitabnya, Al Ahkam As Sulthaniyah, membagi gubernur menjadi dua. Pertama, gubernur yang diangkat dengan kewenangan khusus (imarah 'ala as-shalat). Kedua, gubernur dengan kewenangan secara umum mencakup seluruh perkara (imarah ala as-shalat wal kharaj).
Menurut Al Mawardi, syarat untuk menjadi gubernur tidak jauh berbeda dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi wakil khalifah (muawin tafwidh). Sementara Muawin syaratnya sama dengan syarat menjadi Khalifah. Jadi secara umum syarat menjadi gubernur sama dengan syarat menjadi kepala negara.
Perbedaannya hanya pada kekuasaan gubernur lebih sempit dibandingkan kekuasaan muawin tafwidh). Baik Gubernur Umum maupun Gubernur Khusus keduanya tidak boleh dijabat oleh orang kafir dan budak (bukan orang merdeka).
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Nidhamul Hukmi fil Islam, setidaknya ada tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon gubernur.
Syarat yang pertama adalah harus laki-laki. Berdasarkan sabda Rasulullah saw yang menyatakan:
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita." (HR Bukhari)
Yang dimaksud dengan kata "Wallau" di dalam hadits ini adalah pemerintahan, dengan dalil adanya kata berikutnya, "Amrahum". Karena, kata "amrahum" kalau dirangkai dengan kata "walla" dan "wilayah", maka kata tersebut maknanya menjadi khas yaitu "al hukmu" (pemerintahan) dan "as sulthan" (kekuasaan).
Kedua, syaratnya harus merdeka (bukan budak). Karena kenyataannya, seorang budak tidak memiliki wewenang terhadap dirinya sendiri. Maka, bagaimana mungkin dia bisa menjadi penguasa atas orang lain atau menjadi hakim.
Ketiga, harus muslim, berdasarkan firman Allah SWT.:
"(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin." (Q.S. An Nisa': 141)
Keempat dan kelima, harus baligh dan berakal berdasarkan hadits Rasulullah saw.:
"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) dari tiga orang... atas anak kecil hingga dia baligh, serta orang gila hingga dia sembuh."
Orang yang diangkat pena darinya, berarti tidak terkena beban hukum (ghairu mukallaf). Maka dengan terangkatnya pena itu berarti terangkat pula hukum darinya. Sehingga, dia tidak boleh diserahi untuk melaksanakan pemerintahan atau kekuasaan.
Keenam, syaratnya harus adil. Karena Allah SWT mensyaratkan seseorang boleh menjadi saksi, apabila dia adil. Lebih-lebih kalau sifat adil tersebut dimiliki seorang pejabat (hakim). Adil adalah orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga muru'ah). Jadi tidak sah orang fasik --apalagi kafir-- diangkat menjadi seorang gubernur, berdasarkan firman Allah SWT.:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada orang-orang fasik membawa berita kepada kalian, maka periksalah (berita tersebut)." (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat ini memerintahkan agar memeriksa berita (informasi) orang fasik. Keputusan-keputusan seorang hakim (pimpinan) harus dipakai oleh rakyat tanpa harus diperiksa terlebih dahulu. Sehingga, kalau yang menjadi pejabat (hakim) tersebut termasuk orang yang keputusannya harus diperiksa terlebih dahulu, maka tidak boleh.
Ketujuh, syaratnya harus mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. Karena Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar Al Ghifari ketika dia minta agar diberi jabatan pemerintahan, maka Rasulullah bersabda kepadanya:
"Aku melihatmu lemah." di dalam riwayat lain dikatakan: "Wahai Abu Dzar, aku tahu kamu itu lemah. Padahal, (jabatan tersebut) merupakan amanat."
Di dalam Islam, gubernur tidak dipilih oleh rakyat. Tetapi diangkat oleh kepala negara (khalifah). Imam al Mawardi dalam kitabnya, Al Ahkam As Sulthaniyah, membagi gubernur menjadi dua. Pertama, gubernur yang diangkat dengan kewenangan khusus (imarah 'ala as-shalat). Kedua, gubernur dengan kewenangan secara umum mencakup seluruh perkara (imarah ala as-shalat wal kharaj).
Menurut Al Mawardi, syarat untuk menjadi gubernur tidak jauh berbeda dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi wakil khalifah (muawin tafwidh). Sementara Muawin syaratnya sama dengan syarat menjadi Khalifah. Jadi secara umum syarat menjadi gubernur sama dengan syarat menjadi kepala negara.
Perbedaannya hanya pada kekuasaan gubernur lebih sempit dibandingkan kekuasaan muawin tafwidh). Baik Gubernur Umum maupun Gubernur Khusus keduanya tidak boleh dijabat oleh orang kafir dan budak (bukan orang merdeka).
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Nidhamul Hukmi fil Islam, setidaknya ada tujuh syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon gubernur.
Syarat yang pertama adalah harus laki-laki. Berdasarkan sabda Rasulullah saw yang menyatakan:
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita." (HR Bukhari)
Yang dimaksud dengan kata "Wallau" di dalam hadits ini adalah pemerintahan, dengan dalil adanya kata berikutnya, "Amrahum". Karena, kata "amrahum" kalau dirangkai dengan kata "walla" dan "wilayah", maka kata tersebut maknanya menjadi khas yaitu "al hukmu" (pemerintahan) dan "as sulthan" (kekuasaan).
Kedua, syaratnya harus merdeka (bukan budak). Karena kenyataannya, seorang budak tidak memiliki wewenang terhadap dirinya sendiri. Maka, bagaimana mungkin dia bisa menjadi penguasa atas orang lain atau menjadi hakim.
Ketiga, harus muslim, berdasarkan firman Allah SWT.:
"(Dan) Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin." (Q.S. An Nisa': 141)
Keempat dan kelima, harus baligh dan berakal berdasarkan hadits Rasulullah saw.:
"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) dari tiga orang... atas anak kecil hingga dia baligh, serta orang gila hingga dia sembuh."
Orang yang diangkat pena darinya, berarti tidak terkena beban hukum (ghairu mukallaf). Maka dengan terangkatnya pena itu berarti terangkat pula hukum darinya. Sehingga, dia tidak boleh diserahi untuk melaksanakan pemerintahan atau kekuasaan.
Keenam, syaratnya harus adil. Karena Allah SWT mensyaratkan seseorang boleh menjadi saksi, apabila dia adil. Lebih-lebih kalau sifat adil tersebut dimiliki seorang pejabat (hakim). Adil adalah orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga muru'ah). Jadi tidak sah orang fasik --apalagi kafir-- diangkat menjadi seorang gubernur, berdasarkan firman Allah SWT.:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada orang-orang fasik membawa berita kepada kalian, maka periksalah (berita tersebut)." (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat ini memerintahkan agar memeriksa berita (informasi) orang fasik. Keputusan-keputusan seorang hakim (pimpinan) harus dipakai oleh rakyat tanpa harus diperiksa terlebih dahulu. Sehingga, kalau yang menjadi pejabat (hakim) tersebut termasuk orang yang keputusannya harus diperiksa terlebih dahulu, maka tidak boleh.
Ketujuh, syaratnya harus mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan yang diberikan kepadanya. Karena Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar Al Ghifari ketika dia minta agar diberi jabatan pemerintahan, maka Rasulullah bersabda kepadanya:
"Aku melihatmu lemah." di dalam riwayat lain dikatakan: "Wahai Abu Dzar, aku tahu kamu itu lemah. Padahal, (jabatan tersebut) merupakan amanat."
Hal itu menjadi dalil, bahwa orang yang tidak mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tidak layak untuk menjadi wali.
Nabi saw senantiasa memilih para wali beliau dari kalangan orang-orang yang layak untuk memimpin suatu pemerintahan serta orang-orang yang memiliki keilmuan yang telah dikenal ketakwaannya. Beliau juga memilih mereka berdasarkan kriteria yang paling sempurna dalam menjalankan tugas-tugas yang diurusinya serta mereka yang paling mampu meningkatkan hati rakyat dengan iman dan kecintaan terhadap negara Islam.
Lalu, apakah syarat-syarat calon gubernur di atas juga bisa diimplementasikan untuk pemilihan gubernur di negara yang bukan Daulah Islam, seperti Indonesia sekarang?. Misalnya, pemilihan gubernur DKI Jakarta?. Jawabannya, jelas bisa.
Soal agama calon pemimpin, Allah Swt sendiri yang memperingatkan agar umat Islam tidak memilih pemimpin dari kalangan non-Islam. Hal itu tersirat dengan jelas dalam Surat Al Maidah ayat 51. Ayat ini berlaku umum, baik dalam kondisi negara menerapkan syariat Islam maupun tidak. Seorang Muslim juga wajib terikat dengan ayat ini ketika hendak memilih calon pemimpin.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Soal gender (jenis kelamin) calon pemimpin, misalnya, saat Rasulullah mengucapkan "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.", juga ketika beliau diberitahu bahwa Putri Kisra diangkat menjadi pemimpin di Persia. Tentu saja Persia saat itu bukan negara Islam.
Jadi tidak tepat jika ada yang mengatakan tujuh syarat di atas tidak berlaku untuk Indonesia. Panduan Islam untuk memilih pemimpin sesuai kritera Al Quran dan Sunnah tetap berlaku sepanjang massa, dalam kondisi apapun. Baik di dalam negara yang menerapkan syariat Islam maupun tidak. ( suara-islam.com )
Nabi saw senantiasa memilih para wali beliau dari kalangan orang-orang yang layak untuk memimpin suatu pemerintahan serta orang-orang yang memiliki keilmuan yang telah dikenal ketakwaannya. Beliau juga memilih mereka berdasarkan kriteria yang paling sempurna dalam menjalankan tugas-tugas yang diurusinya serta mereka yang paling mampu meningkatkan hati rakyat dengan iman dan kecintaan terhadap negara Islam.
Lalu, apakah syarat-syarat calon gubernur di atas juga bisa diimplementasikan untuk pemilihan gubernur di negara yang bukan Daulah Islam, seperti Indonesia sekarang?. Misalnya, pemilihan gubernur DKI Jakarta?. Jawabannya, jelas bisa.
Soal agama calon pemimpin, Allah Swt sendiri yang memperingatkan agar umat Islam tidak memilih pemimpin dari kalangan non-Islam. Hal itu tersirat dengan jelas dalam Surat Al Maidah ayat 51. Ayat ini berlaku umum, baik dalam kondisi negara menerapkan syariat Islam maupun tidak. Seorang Muslim juga wajib terikat dengan ayat ini ketika hendak memilih calon pemimpin.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Soal gender (jenis kelamin) calon pemimpin, misalnya, saat Rasulullah mengucapkan "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.", juga ketika beliau diberitahu bahwa Putri Kisra diangkat menjadi pemimpin di Persia. Tentu saja Persia saat itu bukan negara Islam.
Jadi tidak tepat jika ada yang mengatakan tujuh syarat di atas tidak berlaku untuk Indonesia. Panduan Islam untuk memilih pemimpin sesuai kritera Al Quran dan Sunnah tetap berlaku sepanjang massa, dalam kondisi apapun. Baik di dalam negara yang menerapkan syariat Islam maupun tidak. ( suara-islam.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar