Seseorang yang mengalami hal-hal yang membatalkan wudhu’ disebut mengalami hadats kecil. Pembatal-pembatal wudhu’ :
Keluarnya sesuatu dari 2 jalan (dubur dan kemaluan) seperti:
a) Kencing dan kotoran manusia
...أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ...
…atau ketika kalian baru keluar dari kamar kecil (untuk buang air)…(Q.S al-Maidah:6)
b) Mani.
Mengeluarkan mani secara memancar berarti hadats besar dan mengharuskan mandi janabah. Para Ulama’ menjelaskan bahwa segala hal yang mengharuskan mandi adalah membatalkan wudhu’
c) Madzi
Nabi memerintahkan kepada Ali yang bertanya melalui al-Miqdad bin al-Aswad untuk berwudhu’, jika mengeluarkan madzi.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ فِيهِ الْوُضُوءُ
Dari Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu anhu – beliau berkata: Saya adalah seseorang yang sering mengeluarkan madzi. Kemudian aku perintahkan kepada al-Miqdad bin al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ia pun bertanya kepada Nabi, dan Nabi bersabda: itu (menyebabkan harus) berwudhu’ (H.R al-Bukhari no 129).
d) Wadi, cairan putih yang mengiringi kencing,hukumnya sama dengan kencing. Membatalkan wudhu’ dan najis.
e) Angin dari dubur
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
Dari Hammam bin Munabbih bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah diterima sholat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu’. Kemudian seseorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya: Apa yang dimaksud dengan hadats itu wahai Abu Hurairah? Abu Hurairah menjawab: buang angin yang tidak berbunyi ataupun berbunyi (H.R al-Bukhari no 132)
f) Darah istihadhah pada wanita
Darah istihadhah adalah darah penyakit. Ciri fisik darahnya berbeda dengan ciri fisik pada darah haid. Hukumnya juga berbeda dengan hukum darah haid. Darah istihadhah mirip darah akibat luka sehingga berwarna merah segar. Wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, ia harus berwudhu’ pada setiap waktu sholat. Misalkan, masuk waktu Dzhuhur, maka ia harus berwudhu’, kemudian sholat Dzhuhur beserta sholat-sholat sunnah lain dengan wudhu’ itu. Jika masuk waktu Ashar ia harus berwudhu’ lagi. Masuk waktu Maghrib ia berwudhu’ lagi, demikian seterusnya. Sebagaimana perintah Nabi kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy yang mengalami istihadhah untuk berwudhu’ setiap masuk waktu sholat (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
g) Hilangnya akal atau kesadaran seperti pingsan atau tidur yang nyenyak.
Seseorang yang tidur sangat nyenyak, atau yang hilang kesadaran seperti pingsan, wudhu’nya batal. Dalam hadits Shofwan bin Assal tentang menyapu dua sepatu, Nabi menyamakan tidur dengan kencing dan buang air besar sebagai hadats kecil:
وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
…akan tetapi dari buang air besar, kencing, dan tidur (H.R atTirmidzi, anNasaai, dishahihkan Ibnu Khuzaimah)
h) Memakan daging unta.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ
Dari Jabir bin Samuroh bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Apakah saya berwudhu jika makan daging kambing? Nabi bersabda: Jika engkau mau, silakan berwudhu’, jika mau silakan tidak berwudhu’. Ia bertanya lagi: Apakah saya berwudhu’ jika makan daging unta? Nabi bersabda: Ya. Berwudhu’lah jika makan daging unta (H.R Muslim no 539)
i) Riddah (murtad, keluar dari Islam)
Sebagian Ulama’ menganggap orang yang murtad menjadi batal wudhu’nya, sebagaimana batalnya seluruh amalnya (Q.S az-Zumar:65).
Sehingga jika ada seseorang yang berwudhu’ kemudian ia melakukan ucapan atau perbuatan yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam, maka wudhu’nya batal. Jika kemudian ia memperbaharui keislamannya dengan mengucapkan syahadat lagi dan ia ingin sholat, maka ia harus berwudhu’ lagi.
Segala hal yang membatalkan wudhu’ jika terjadi pada saat seseorang sedang sholat, maka otomatis sholatnya batal.
Jika Seseorang yang terkena najis pada tubuh atau pakaiannya, apakah secara otomatis wudhu’nya batal?
Jawab : Tidak batal, karena yang membatalkan wudhu’ adalah hadats, bukan najis. Najis tetap harus dibersihkan, namun tidak membatalkan wudhu’ (sebagaimana fatwa Syaikh Sholih alFauzan)
Jika seseorang yang sebelumnya telah berwudhu’ namun ia ragu apakah sudah batal atau belum. Apa yang harus dilakukan?
Jawab: Jika seseorang ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka hendaknya mendasarkan atas sesuatu yang meyakinkan. Hal yang meyakinkan adalah ia sudah berwudhu’ sedangkan batalnya wudhu’ adalah berdasarkan sesuatu yang meragukan. Maka hendaknya ia memilih bahwa ia masih dalam kondisi suci (tidak batal).
Sebaliknya, jika ia yakin bahwa wudhu’nya batal, namun ragu apakah ia telah berwudhu’ atau belum, maka hendaknya ia memilih keyakinan bahwa ia belum berwudhu’. Karena kondisi ia berwudhu’ didasarkan atas sesuatu hal yang meragukan.
Kaidahnya adalah: hal yang meragukan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang meyakinkan.
Landasan kaidah ini adalah hadits:
عَنْ سَعِيدٍ وَعَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Said dan Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa telah diadukan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang terganggu pada pikirannya seakan-akan ia mengalami sesuatu (batal) dalam sholatnya. Nabi bersabda: Janganlah ia berpaling (menghentikan sholat) hingga ia mendengar suara atau mendapati bau (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz riwayat Muslim no 540)
Artinya, janganlah membatalkan sholat hingga mendapatkan sesuatu yang meyakinkan bahwa ia membatalkan sholat. Hal ini juga berlaku untuk masalah wudhu’. Tidaklah wudhu’ menjadi batal kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan membatalkan wudhu’.
Apa saja perbuatan (amalan ibadah) yang menyebabkan seseorang diharuskan berwudhu’?
Jawab:
Amalan ibadah yang harus dilaksanakan dalam kondisi seseorang suci dari hadats (besar atau kecil) adalah:
Sholat
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima sholat seseorang jika berhadats sampai dia berwudhu’ (H.R alBukhari no 6440 dari Abu Hurairah)
Thowaf di Baitullah
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ بِمَنْزِلَةِ الصَّلَاةِ، إِلَّا أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَلَّ فِيهِ الْمِنْطَقَ، فَمَنْ نَطَقَ فَلَا يَنْطِقْ إِلَّا بِخَيْرٍ
Thowaf di Baitullah (al-Ka’bah) adalah seperti sholat. Kecuali sesungguhnya Allah menghalalkan berbicara di dalamnya. Barangsiapa berbicara, janganlah berbicara kecuali kebaikan (H.R al-Hakim dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas, dinyatakan oleh al-Hakim bahwa hadits ini shahih dan sesuai syarat Muslim, disepakati adz-Dzahaby)
Memegang/ menyentuh mushaf al-Quran
لَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Janganlah menyentuh al-Quran kecuali engkau dalam keadaan suci (H.R al-Hakim, dishahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahaby, Ibnul Mulaqqin, al-Munawy).
Larangan menyentuh mushaf al-Quran bagi orang yang berhadats (baik kecil ataupun besar) adalah pendapat dari Jumhur (mayoritas) Ulama’ dan didukung oleh Syaikh Bin Baz (Majmu’ Fataawa Bin Baaz (4/384-384)).
Apa saja perbuatan yang menyebabkan seseorang disunnahkan untuk berwudhu’?
Jawab:
Seseorang yang beribadah kepada Allah sebaiknya dalam kondisi suci dari hadats besar dan kecil. Walaupun dalam ibadah-ibadah tertentu, tidak dipersyaratkan harus suci hadats besar dan kecil, namun sebaiknya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah sebaiknya dalam kondisi tidak berhadats.
Contoh beberapa perbuatan yang sebaiknya dilakukan dalam keadaan tidak berhadats/ berwudhu sebelumnya:
Ikut memanggul jenazah.
مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan jenazah hendaknya mandi, dan barangsiapa yang memanggulnya, maka hendaknya berwudhu’ (H.R Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah)
Menyentuh kemaluan.
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu’ (H.R Abu Dawud dan Ahmad dari Busroh bintu Shofwan)
Perintah berwudhu’ ketika menyentuh kemaluan ini adalah sunnah, bukan kewajiban. Karena dalam hadits lain, Nabi ditanya apakah seseorang yang menyentuh kemaluannya harus berwudhu’? Nabi menjawab bahwa itu hanyalah bagian dari anggota tubuhnya (tidak wajib berwudhu’)
جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِي رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ وَهَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ
Datang seorang laki-laki sepertinya ia adalah dari pedalaman. Ia berkata: Wahai Rasulullah bagaimana pendapat anda tentang seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya dalam sholat? Nabi bersabda: Bukankah itu adalah bagian dari anggota tubuhmu? (H.R anNasaai dishahihkan Ibn Hibban)
Mengumandangkan adzan dan iqomah.
Sujud tilawah dan sujud syukur.
Ketika akan tidur
مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ ، لاَ يَسْتَيْقِظُ سَاعَةً مِنْ لَيْلٍ ، إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : اللهمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا
Barangsiapa yang tidur (malam) dalam keadaan suci, satu Malaikat akan bermalam pada rambutnya. Tidaklah ia bangun pada waktu malam kecuali Malaikat itu berdoa: Ya Allah ampunilah Fulaan, karena ia tidur (malam) dalam keadaan suci (H.R Ibnu Hibban dari Ibnu Umar, dishahihkan al-Albany dalam as-Shahihah)
Segala bentuk ibadah sebaiknya dalam kondisi suci dari hadats jika mampu. Sikap tersebut bagian dari memulyakan syiar Allah, dan merupakan tanda ketakwaan.
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka itu termasuk ketakwaan dalam hati (Q.S al-Hajj:32)
Apakah Semua Bentuk Tidur Membatalkan Wudhu’?
Jawab:
Tidak semua tidur membatalkan wudhu’. Tidur yang membatalkan wudhu’ adalah tidur nyenyak sehingga menghilangkan kesadaran penuh. Sehingga apabila mereka berhadats dalam kondisi tidur seperti itu mereka tidak bisa merasakan. Tidur semacam ini membatalkan wudhu’.
Sedangkan tidur yang ringan tidaklah membatalkan wudhu’. Para Sahabat Nabi pernah tertidur saat menunggu datangnya Nabi untuk menjadi Imam dalam sholat Isya’, namun mereka kemudian langsung sholat tanpa berwudhu’ lagi.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
Dari Anas –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Para Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menunggu sholat Isya’ akhir sampai terangguk-angguk kepala mereka kemudian mereka sholat dan tidak berwudhu’ (H.R Abu Dawud dan ad-Daraquthny, dishahihkan oleh ad-Daraquthny)
Pendapat yang merinci jenis tidur tersebut adalah pendapat al-Imam Malik dan salah satu riwayat pendapat al-Imam Ahmad. Pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin.
Intinya, tidur yang menghilangkan kesadaran sehingga jika berhadats dalam tidur tidak terasa, menyebabkan batal wudhu’. Tidak peduli apakah posisi tidurnya berdiri, berbaring, atau duduk.
Tidur sendiri bukanlah sesuatu yang membatalkan wudhu’, namun tidur adalah kondisi yang tidak bisa dijaga seseorang mengalami hadats. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Mata adalah pengikat dubur, barangsiapa yang tidur hendaknya berwudhu’ (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, dihasankan oleh anNawawy, al-Mundziri, Ibnus Sholah, al-Albany dan Ibn Baz)
Apakah Menyentuh Wanita Membatalkan Wudhu?
Jawab:
Sekedar menyentuh, tidaklah membatalkan wudhu’. Al-Quran menggunakan kata ‘menyentuh’ yang artinya adalah bersetubuh.
...أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
…atau kalian ‘menyentuh’ para wanita, kemudian tidak mendapati air, hendaknya bertayammum dengan tanah yang baik…(Q.S anNisaa’:43)
Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukan sekedar menyentuh kulit satu sama lain. Tapi, maknanya adalah bersetubuh. Sebagaimana dijelaskan oleh Sahabat Nabi Ibnu Abbas (Tafsir Ibnu Katsir (2/314)).
Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah dalam keadaan berwudhu’ mencium istrinya kemudian langsung berangkat sholat tanpa harus berwudhu’ lagi.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju sholat tidak berwudhu’ (lagi)(H.R Abu Dawud)
Meski tidak membatalkan wudhu, namun sengaja menyentuh wanita yang bukan mahram tanpa ada keperluan yang darurat adalah berdosa.
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ
Seandainya kepala salah seorang dari kalian diusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dibandingkan menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahram)(H.R atThobarony, dinyatakan oleh al-Haiytsamy bahwa para perawinya adalah perawi-perawi yang shahih, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Munawy).
Termasuk juga berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram adalah terlarang. Manusia yang paling suci hatinya, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sekalipun untuk perbuatan yang sangat penting, yaitu baiat.
Umaimah bintu Ruqoiqoh radhiyallahu anha pernah menyatakan:
جِئْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ نُبَايِعُهُ فَقَالَ لَنَا فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
Saya mendatangi Nabi shollallahu alaihi wasallam bersama sekelompok wanita yang akan berbaiat pada beliau. Maka Nabi bersabda kepada kami: sesuai dengan kemampuan kalian. Aku tidaklah berjabat tangan dengan para wanita (H.R anNasaai, Ibnu Majah dishahihkan Ibn Hibban dan al-Albany)
Apa yang harus dilakukan seseorang yang berhadats terus menerus?
Jawab:
Jika seseorang berhadats terus menerus karena penyakit, seperti selalu mengeluarkan air kencing, atau selalu buang angin, maka hukumnya sama seperti wanita yang istihadhah. Hendaknya ia berwudhu’ setiap masuk waktu sholat, kemudian silakan sholat wajib dan sunnah yang mampu dikerjakan dengan wudhu’ itu, jangan pedulikan hadats yang menimpanya karena hal itu adalah penyakit. Jika masuk waktu sholat berikutnya, ia harus berwudhu’ lagi.
Jika hadats itu adalah sesuatu hal yang najis, seperti kencing, hendaknya ia gunakan suatu penghalang semacam pembalut atau semisalnya sehingga tidak mengenai pakaiannya, dan hendaknya ia berusaha untuk mencari pengobatan yang tidak bertentangan dengan syar’i untuk berusaha menyembuhkan penyakitnya tersebut.
Demikian dijelaskan oleh para Ulama di antaranya Syaikh Ibn Utsaimin.
Apakah Seseorang yang Batal Wudhu’nya Harus Beristinja’?
Jawab:
Istinja’ hanya disyariatkan jika seseorang kencing (juga keluar madzi atau wadi) atau buang air besar. Adapun batal wudhu’ karena sebab yang lain tidak perlu beristinja’, sebagaimana difatwakan Syaikh Bin Baz (Fataawa Islaamiyyah (1/259)), demikian juga Fatwa al-Lajnah ad-Daimah.
Apakah Setiap Kali Akan Sholat Harus Berwudhu lagi Meski Wudhu Sebelumnya Belum Batal?
Jawab:
Tidak harus. Namun, jika seseorang meski belum batal wudhu’nya tetap memperbaharui wudhu, ia akan mendapatkan keutamaan-keutamaan wudhu yang banyak seperti yang akan dijelaskan pada bab berikutnya, insyaAllah.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dulunya selalu berwudhu setiap kali akan sholat meski masih belum batal wudhunya, namun kemudian setelah tahun Fathu Makkah, beliau melakukan beberapa sholat dengan satu wudhu (selama belum batal) untuk menunjukkan bolehnya hal itu dilakukan.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ
Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam dulu berwudhu pada setiap sholat. Ketika tahun Fathu Makkah beliau (pernah) melakukan seluruh sholat (5 waktu) dengan satu wudhu (H.R atTirmidzi, anNasaai, dinyatakan hasan shahih oleh atTirmidzi dan dishahihkan al-Albany)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرِ ابْنَ الْغَّسِيلِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أُمِرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَوُضِعَ عَنْهُ الْوُضُوءُ إِلَّا مِنْ حَدَثٍ
Dari Abdullah bin Handzholah bin Abi Amir bin al-Ghosiil bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dulu diperintah untuk berwudhu pada setiap sholat baik dalam keadaan masih suci (belum batal wudhu) ataupun tidak suci. Ketika hal itu berat dirasakan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam beliau (kemudian) diperintah untuk bersiwak setiap sholat dan dihapus kewajiban berwudhu kecuali bagi orang yang berhadats (yang akan sholat, pent)(H.R Ahmad, dishahihkan al-Hakim disepakati adz-Dzahaby dan dinyatakan sesuai syarat Shahih Muslim).
dikutip dari draft buku ‘Fiqh Bersuci dan Sholat Sesuai Tuntunan Nabi’ karya Abu Utsman Kharisman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar