Saya rasa semua kita sudah mengetahui bagaimana sederhananya rumah Rasulullah saw

Saudaraku. Apakah saudara seorang kontraktor? Jika benar, ketika saudara ingin membangun atau mencicil rumah, tolong berpikirlah dalam-dalam terlebih dulu. Seperti, "Rumah ini untuk siapa?" Karena kita sering mendesain atau mengambil cicilan rumah untuk dipuji orang lain. Padahal kita mati-matian membayar cicilannya.

Walau pun ada orang memuji rumah kita, yang mungkin katanya bagus dan antik, tapi tetap saja dia tidak menyumbang untuk cicilannya. Seperti kalau kita membeli motor bagus, lalu ada yang bilang, "Wah motor kamu keren." Sekadar begitu, dan dia tidak mau membelikan bensinnya. Kecuali kalau setiap orang yang memuji rumah kita juga memberi uang sejuta, tidak apa-apa bangun rumah sebagus mungkin.

Jadi, kalau mau membikin atau mengambil cicilan rumah, jangan memikirkan penilaian orang. Bangunlah rumah sesuai kemampuan dan keperluan. Misalnya, mengapa kita membuat rumah tipe kerajaan, padahal modalnya terbatas? Nanti yang siap hanya pilarnya saja, dan, menunggu dana terkumpul setahun lagi, kita tidur bersama anak-anak di dalam tenda. Malah jadi aneh. Atau, mungkin secara modal kita mampu, lalu membangun rumah dengan 15 kamar tidur. Padahal kita keluarga kecil, dan yang dipakai hanya tiga kamar. Sisanya dibiarkan kosong bertahun-tahun menjadi sarang kelelawar.

Saya rasa semua kita sudah mengetahui bagaimana sederhananya rumah Rasulullah saw

Bukan harus jelek rumahnya, tapi proporsional. Sesuai kemampuan dan keperluan. Saya rasa semua kita sudah mengetahui bagaimana sederhananya rumah Rasulullah saw. Mungkin kita tidak sanggup sesederhana beliau. Tapi, setidaknya jangan memaksakan diri jika tidak punya modal.

Apalagi kalau tinggal di rumah bagus, kita cenderung untuk riya. Seperti saat ada yang bertanya, "Saudara tinggal di mana?" Kita lebih suka menjawab, "Cipaganti." Sehingga yang dibayangkan orang adalah Jalan Cipaganti. Padahal tempat tinggal kita ada di Gang Mak Uneh. Mengapa kita menyebut Cipaganti? Dulu mungkin. Atau, "Tinggal di mana di Jakarta?" Dijawab, "Pondok Indah." Tapi karena dari penampilan kita sudah membuat orang tidak yakin, kita bisa ditanya lagi, "Saudara yakin di Pondok Indah ada gang-gang sempitnya?"

Saudaraku. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, penduduk di Kufah dan Basrah pada awalnya tinggal di tenda-tenda. Dengan pertimbangan, untuk memudahkan jika terjadi peperangan. Kemudian mereka meminta izin kepada Umar untuk membangun tempat tinggal dengan bahan rotan. Umar pun mengizinkan. Tapi setelah itu terjadi kebakaran di kedua kota tersebut. Sehingga mereka kembali meminta izin kepada khalifah Umar untuk membangun rumah dari batu bata.

Umar pun kembali mengizinkan: "Silakan lakukan. Tetapi jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian membangun lebih dari tiga kamar, dan jangan berlebih-lebihan dalam bangunan." Lalu, ada yang bertanya tentang ukurannya. Umar menjawab: "Tidak mendekatkan kepada pemborosan dan tidak mengeluarkan dari hidup bersahaja." Pesan yang serupa beliau kirimkan kepada Saad bin Abi Waqqash di Kufah, dan Uthbah bin Ghazwan di Basrah.

Nah, dari sana kita bisa melihat bagaimana kehati-hatian kaum muslimin generasi awal dalam membangun rumah. Mereka membangunnya sesuai keperluan dan kemampuan, menjauhi pemborosan dan berlebih-lebihan, dan terhindar dari perlombaan bermewah-mewahan. Bagi mereka, yang penting rumahnya bisa untuk istirahat, melindungi dari panas terik matahari, udara dingin dan hujan.

Berbeda jauh sekali dengan kita sekarang. Kita bisa sibuk membangun rumah bertahun-tahun sampai lupa ke pengajian. Sibuk membeli asesoris dan perabotan, sehingga tersiksa cicilan serta tidak lagi membayar zakat dan bersedekah. Padahal semua itu hanya untuk pamer dan berharap dipuji makhluk. "Alhamdulillah, ini rumah saya." Menyebut "alhamdulillah" tidak ingat kepada Allah. Tapi mengingat-ingat bagian rumah yang akan diceritakan atau dipamerkan terlebih dulu.

Jangan, saudaraku! Bangunlah rumah sesuai kemampuan dan keperluan. Jangan sampai hanya demi rumah, hidup kita di dunia dan akhirat tersiksa. Mengapa kita berharap pujian makhluk? Jika Allah berkehendak, tinggal diberi gempa 7 SR, langsung rata rumah kita. "Tenang Aa, rumah saya bagus dan antigempa." Kalau begitu dinaikkan 12 SR. Rumah saudara mungkin tetap bagus, tapi tertimbun di dalam tanah.

Bangun yang proporsional saja. Mulailah menghindarkan dunia ini supaya tidak mendominasi hati. Jangan bangga maupun minder dengan rumah. Baik istana atau pun gubuk, dan semua rumah yang ada di dunia ini milik Allah SWT. Kita hanya bergiliran menumpang dan mengaku-aku saja memilikinya.[mozaik.inilah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar