Bolehkah Suami Menolak Ajakan Istri ? - Sang wanita dianggap nusyuz (durhaka karena tidak memenuhi hak suami) dan bersangsi dilaknati malaikat sampai suami memaafkan. Kemudian saya jawab dengan membenarkan pernyataanya tersebut dan saya tambahi bahwa bagaimanapun keadaanya seorang wanita wajib akan kesediaannya bila diajak suami dalam masalah ini meski ia ada diatas kendaraan dan berada didepan tungku(dapur).
Kemudian pertanyaan baru muncul, bagaimana jika istri meminta? Apakah suami boleh menolak. Maka dengan singkat saya jawab. “ Bahwa seorang suami memiliki kewajiban memenuhi hak istri, bilamana sang suami tidak memenuhi hak istri maka ia telah berlaku dzalim dan durhaka pada Allah. Karena sang suami menghalalkan kemaluan istri atas nama Allah, maka ia juga wajib memenuhi hak istri yang diantaranya perihal kepuasan batiniah”. Namun alangkah baiknya jika jawaban saya ini saya jelaskan secara gamblang agar lebih memahamkan bagi orang-orang awam pada umumnya. Dimana masih banyak orang-orang yang masih jahil(tidak tahu) atas kewajiban dan hak antara suami istri ini.
Selanjutnya, wajib hukumnya seorang suami memuaskan istri dengan hubungan . Ibnu Qudamah[1]: “Berhubungan wajib bagi suami jika tidak ada udzur”.[2] Maksud dari Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwasanya wajib bagi suami untuk memuaskan istrinya karena ini hak istri atas suami. Sebagaimana diketahui bahwa wanita teramat tersiksa bilamana hak ini tidak terpenuhi karena pada umumnya fitrah wanita sangat besar nafsunya, sebagaimana penjelasan Imam Qurtuby bahwa perbandingan syahwat wanita adalah sembilan banding satu.
Perkara wajib ini adalah sebuah langkah pencegahan akan fitnah (kerusakan), karena tingkat keimanan antara wanita dengan wanita lainya berbeda dan berbeda pula tingkat gairahnya. Dimana sebuah perkara yang dzalim bila sang suami tidak bersedia menggauli istrinya tanpa sebab yang jelas, sedang kedzaliman itu adalah haram hukumnya. Wajib disini adalah bila perkara ini tiada ditunaikan maka akan mendatangkan dosa atas pelanggaran syara’ dalam hak dan kewajiban dalam pernikahan. Dan hendaknya seorang istri menuntut haknya dan suami menuruti tuntutan istrinya atas haknya dan menjalankan kewajibanya selaku suami. Jadi kesimpulanya adalah seorang suami dibebankan kewajiban untuk menyenggamai istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka ia juga dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dan tidak istri saja yang terkena ancaman dosa bila tidak bersedia berhubungan. Keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk melakukan hubungan. Karena dalam masalah pernikahan keduanya memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan satu kewajiban antara satu dengan lainya. Allah swt berfirman :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”(QS.2:228)
Pendapat wajibnya seorang suami menyenggamai istri ini juga dikemukakan oleh Imam Malik, alasan Imam Malik adalah bahwasanya nikah adalah demi kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.[3] Ia (suami) melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga untuk menolak gejolak syahwat suami.
Ibnu Hazm ad dzahiri[4] berpendapat bahwa menyenggamai istri itu hukumnya wajib, minimal sekali setelah sang istri suci jika ia mampu. Dan apabila tidak maka sang suami telah durhaka pada Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu “(QS.Al Baqarah.222)[5].
Berdasarkan ayat ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa jikalau istri selesai dari haid dan telah bersuci sang suami wajib mencampuri istrinya, apabila tidak maka ia dianggap berdosa pada Allah karena bertentangan dengan ayat tersebut.[6] Allahu’alam
Imam Ghazali berpendapat, sebaiknya seorang suami menyenggamai istrinya empat hari sekali. Ini semua merupakan suatu langkah dalam menenangkan istri karena ini merupakan suatu kewajiban.[7]
Hadits diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, Ka’ab bin Siwar Al Asadi pernah duduk disamping Umar bin Khotob dan datanglah seorang wanita yang mengadu padanya :”Hai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih utama dari suamiku. Demi Allah ia selalu shalat semalam suntuk dan berpuasa disiang harinya, kemudian ia memohonkan ampunan kepada istrinya dan memujinya. Umar berkata :”Ya itu suamimu”. Wanita ini berkali-kali menyampaikan aduan ini dan berkali-kali pula Umar menjawab. Kemudian ka’ab berkata kepada Umar. “ Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadu atas suaminya yang menjauhi tempat tidur istrinya”. Umar menjawab : “ sebagaimana yang kau ketahui putuskanlah kedua masalah sumi istri ini”. Ka’ab berkata :” Sungguh aku berpendapat bahwa wanita ini yang keempat setelah wanita yang ketiga. Maka aku putuskan tiga hari siang dan malam untuk ibadah suamimu dan satu hari satu malam untuk berkumpul dengan istri”. Kemudian ia berpesan pada suami “Sesungguhnya pada istrimu ada hak. Hai suami engkau mendatangi istrimu empat hari sekali bagi yang sedang. Berikanlah hak itu dan hilangkanlah keburukanmu.” Kemudian Umar berkata pada Ka’ab : “Demi Allah pendapat (keputusanmu) yang pertama kali ini menakjubkanku dari pendapat-pendapat orang lain, maka aku perintahkan kau untuk pergi menjadi hakim di Bashrah.[8]
Jadi beradasarkan riwayat ini bahwa bila ada seorang suami tidak bersedia menggauli istrinya ini merupakan tindak kejahatan yang bisa diadukan kepada hakim/penguasa untuk diputuskan perkaranya. Jika ini bukan tindak kejahatan Umar dan Ka’ab tidak akan memutuskan suatu perkara ini,dan Umar juga tidak akan mengangkat Ka’ab menjadi hakim di Bashrah. Tidak menggauli istri adalah pelanggaran atas hak istri dan bentuk kedzaliman yang terkategori kriminal. Entah apapun alasan sang suami, hatta ia beralasan dalam rangka ibadah pada Allah tetap saja itu suatu kedzaliman bila ia enggan menggauli istrinya. Dan karena ini suatu tindak kriminal (kedzaliman) dan perenggutan hak maka sang istri berhak mengadukanya pada pengadilan. Sebagaimana ia dianiyaya fisik (dipukuli) oleh suami. Ini semua karena memukuli istri tanpa hak dan tidak memnuhi hak istri untuk digauli sama-sama kedzaliman dan kriminalitas.
Ibnu Taymiyyah menyatakan : "Seorang suami harus memberikan nafkah batin kepada isterinya secara makruf. Sebab, ia termasuk kebutuhannya yang paling utama; melebihi kebutuhannya terhadap makan. Nafkah batin yang wajib dipenuhi oleh suami menurut sebagian ulama paling lama empat bulan sekali. Sementara pandangan lain sesuai dengan kebutuhan isteri dan kemampuan suami untuk memenuhinya."
Imam Ahmad berpendapat : “ Hubungan badan dengan istri wajib, sekalipun demikian, kewajiban suami adalah menjaga hak istri (yaitu digauli). Hendaknya suami bersikap sedang dalam berpuasa dan shalat malam agar mampu melaksanakan hubungan wajib dengan istri.[9]
Batas ritme hari menyenggamai istri
Adapun berapa lama waktu ritme menggauli istri para ulama berbeda pendapat namun sangat mudah untuk dipahami. Imam Al Ghazali berpendapat wajib setiap empat hari sekali. Alasan ini adalah karena Al Imam Ghazali bahwa empat hari ini adalah berdasarkan jatah seorang suami yang boleh memadu empat wanita. Jadi ini akan ada penggiliran yang adil yaitu sehari sekali setiap putaran. Dan alasan lainya adalah bila ada seorang suami yang mukim, diamana setiap hari sang suami berdampingan dengan istri setiap hari, dimana setiap malam mereka bertemu. Maka kewajiban ini jatuh setiap empat hari sekali, dan bila hendak ditambah menjadi tiga kali dalam empat hari tiadalah mengapa jika memang kedua belah pihak baik kondisinya. Dan bila dalam waktu empat hari tidak ada hasrat bagi keduanya maka tiada mengapa tidak bersenggama atas keridhoan kedua belah pihak. Namun jika ada salah satu pihak berhasrat, maka perkara ini haruslah dipenuhi dan bagi yang tidak berhasrat haruslah membesarkan pengertianya.
Dan sebagian ulama berpendapat wajib senggama itu ritme waktunya adalah empat bulan seklai, sebagaimana pendapat Imam Ahmad yang dikutip Ibnu Qudamah dalam Al Mughni. Adapun ritme waktu empat bulan sekali ini bilamana sang suami bekerja denagn cara safar mukim. Maksudnya dari safar mukim adalah sebagaimana seorang pedangang yang dimana ia sering berkeliling yang terkadang ia pergi berhari-hari dan berminggu-minggu namun disatu sisi ia masih ada waktu, kesampatan dan kemampuan untuk pulang.
Sebagian ulama lagi mewajibkan menggauli istri dengan ritme waktu empat bulan sekali. Ini berdasarkan riwayat dari Umar bin Khotob yang menyuruh tentaranya setiap empat bulan sekali pulang untuk menemui istrinya. Dalam sebuah riwayat, suatu saat Umar bertanya pada anaknya Hafzah. “ Wahai Hafzah berapa lama wanita sanggup menahan” . Hafzah terdiam dan tidak menjawab karena malu. Kemudian Umar mengerti dan berkata: “ Tidak perlu malu dalam perihal agama”. Kemudian Hafzah menjawab “ Empat bulan kami (para wanita) mampu menahan”. Setelah mendapat keterangan ini Umar memutuskan untuk menggulir tentaranya yang berada diluar untuk berganti dengan kelompok pauskan yang lain setiap empat bulan sekali, agar para suami yang menjadi tentara bisa menunaikan kewajibnya atas hak istrinya. Jadi bagi suami yang bekerja secara safar yang jauh, maka diusahakanlah setiap empat bulan sekali untuk pulang dalam rangka memenuhi hak istrinya dan menunaikan kewajibanya.
4 bulan didiamkan, sah meminta cerai
Inih wujud perlindungan Allah atas hak asasi manusia bagi wanita yang paling baik dan penuh manfaat. Tidaklah suatu celaan yang paling menakutkan selain celaan yang ada dalam Al-Qur’an dan lisan Muhammad saw sang nabi Allah. Jika sang wanita dicela oleh lisan nabi Allah karena menolak untuk digauli atas suami, maka jika ada suami menolak menggauli istri; sang suami tersebut langsung dicela Allah melalui kalam-Nya yang suci.
Jadi jelaslah sudah bahwa seorang istri juga punya hak untuk disenggamai sang suami dan suami berkewajiban memenuhi hak istri ini. Yang dimana sang suami berkwajiban menyenggamai istri bila ia tidak bersedia maka ia berdosa dan sang istri juga berkewajiban untuk bersedia disenggamai sang suami bila ia menolak maka ia akan berdosa. Keduanya sama-sama dikenai dan dibebani kewajiban akan perkara ini.
Ini juga sekaligus bantahan untuk kaum kafir feminis, jender dan liberal yang mereka sering menyatakan akan kedzaliman suami atas istri karena mereka beranggapan bahwa istri akan berdosa jika menolak diajak senggama dan lelaki punyak hak otoriter dalam mengatur ritme senggama, sehingga banyak wanita yang terdzolimi karena suami tidak bersedia menyenggamainya ,sehingga syariatlah yang terkena getah pernyataan mereka, seolah syariat telah mendzolimi dan tidak memberikan keadilan pada kaum wanita. Sesungguhnya pikiran mereka ini bodoh lagi jahil murakkab karena mereka berbicara mengenai islam namun mereka buta akan islam. Kita berlindung pada Allah dari kesesatan dan kepicikan berpikir. Allahu’alam
Maraji
· Fiqh As Sunnah, Sayyid Sabiq
· Al-Mughni, Ibnu Qudamah al Hanbali
· Al-Usratu wa ahkamuha fii tasyri’ al islam. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam
PERMASALAHAN BARU . . .
Ternyata setelah pembahasan hukum “ Bolehkan Sumai Menolak Ajakan Istri” timbul permasalahn baru, yaitu bagaimana bila sang suami tidak berhasrat, apakah boleh sang istri merayu dengan sekuat tenaga dan berbagai cara agar suaminya berhasrat. “apakah boleh tadz seorang istri memakai pakaian ketat agar sang suami berhasrat, apakah perkara ini menyerupai –maaf- pelacur yang merayu?”.kemudian apa hukumnya ustadz, bilamana seorang suami merayu istrinya agar mau disenggamai dengan cara memberikan perhiasan,uang atau benda menarik lainya?.
Maka jawabanya adalah , semoga jawaban saya ini tidak meyalahi hukum Allah.
Pertama. Seorang istri dibolehkan memakai pakaian ketat dan seksi dihadapan suami. Sebagaimana telanjang dihadapan suami juga diperbolehkan, maka memakai pakaian seksi yang lebih ringanpun juga dibolehkan secara logika. Karena semua aurot sitri halal untuk ditampakan pada suami. Ini sudah menjadi Ijma’ bahwa aurot istri halal secara keseluruhan bagi suami termasuk farji’nya. Adapun bila ada hadits perihal larangan melihat Farji’. Hadits tersebut adalah hadits bathil dan munkar yang tidak bisa dijadikan landasan.[10]
Kedua, perihal merayu dan mencumbu suami agar berhasrat. Ini juga dibolehkan bahkan ini adalah perintah yang memang harus dilakukan jika hendak berjima’. Adapun bila sang istri merayu dan mencumbui suami ini tidaklah sama seperti wanita nakal yang menggoda lelaki yang diharamkan untuknya. Karena suami itu adalah orang yang halal yang boleh diapakan saja sesuka hati atas istri selaku pemiliknya.
Ketiga,diwajibkanya bercumbu rayu jika hendak berjima’. Bercumbu rayu dan bercanda salah satu fungsinya adalah untuk menumbuhkan hasrat bagi pihak yang kurang berhasrat, entah dari pihak istri atau suami. Jadi jika sang istri berhasrat sedang suami dalam keadaan lemah, maka sang istri diharuskan mencumbu dan merayunya agar sang suami berhasrat. Dan perkara ini adalah perkara makruf-bukan maksiat- yang diperintahkan oleh syara’.
Ketika Jabir menikah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya,
« هَلْ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا » . فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَيِّبًا . فَقَالَ « هَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا[11] وَتُلاَعِبُكَ »
“Apakah engkau menikahi gadis (perawan) atau janda?” “Aku menikahi janda”, kata Jabir. “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja karena engkau bisa bercumbu dengannya dan juga sebaliknya ia bisa bercumbu mesra denganmu?” (HR. Bukhari no. 2967 dan Muslim no. 715). Ibnu Hajar mengatakan bahwa hal ini sebagai isyarat kalau gadis sangat menyenangkan jika diisap lidahnya ketika bermain-main atau menciuminya (Fathul Barri, 9: 122).
An-Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan (sunnahnya) cumbuan lelaki pada istrinya dan bersikap lembut kepadanya-juga sebaliknya-, membuatnya tertawa serta bergaul dengannya dengan baik”( Al-Minhaj syarah Shahih Muslim 10/53)
Para Ulama telah ber Ijma’ / bahwa mendahului Jima’ dengan senda gurau dan cumbu rayu, beciuman dan saling menghisap lidah dan masuknya air ludah adalah sunnah muakad. Dan, mereka memandang makruh bila menyelisihinya-para ulama memakruhkan berjima tanpa didahului cumbuan-. (Faidhul Qadir, Al Manawi.5/90)
Para ulama menjelaskan bahwa berciuman dengan saling menghisap lidah mampu menambah kemesraan dan rasa cinta kasih. Sesungguhnya lidah dan air ludah perempuan berbeda dengan janda. Wanita gadis lebih baik dan beraroma khas air ludahnya dibandingkan janda, dan lebih baik dirasa. Memasukan lidah kepada mulut masing-masing pasangan adalah perkara baik yang sunnah.[12]
Adapun tata cara bercium yang dalam mencandai pasangan adalah dengan cara menghisap lidah dan mengecup bibirnya hingga air ludah saling masuk (saling bertukar masuknya air liusr/ludah). Perkara ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al Qurtubi. (lihat : Fath Barri, 9 :122/ Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, Imam Al Qurtubi). Sedang air liur/ludah dari mulut itu bukanlah najis dan tidak menajiskan. (I’aanah at-Thoolibiin I:85 / Al Muhaddzab I:47 /Al Umm, Imam As Syafii / Al-Muntaqa min Fatâwâ Fadhilatisy-Syaikh Shâlih Fauzân, 5/10).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya seorang mukmin itu tidak najis.” .(HR Imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya, 1/74,75, dari hadits Abu Hurairah radiallahu’anhu)
Masuknya air ludah pasangan ke dalam mulut tidaklah membatalakn puasa. Sebagaimana hadits.
ثَبَتَ عَنْ عَا ئِشَةَ : عَا نَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ و يَمُصُّ لِسَا نَهَا ( راوه أب داود )
Dari ‘Aisyah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,menciumnya sedang beliau sedang berpuasa. Dan beliau juga menghisap lidahnya (Aisyah). (HR. Abu daud dlam Sunannya. NO:2378. Ibnu Huzaimah dalam Shahihnya 3/246, Ahmad dalam Musnadnya 6/123 dan 224, Al Khatib dalam Tali At Talkhish 1/301. Abu Dawud memvonis hadits ini Hasan, selain itu juga hadits ini banyak pendukung.).
Imam Ibnu Qayim menjelaskan bahwa Rasulullah pernah menghisap lidah Aisyah tatkala dalam cumbu rayu. Dan sesungguhnya cumbu rayu ini diperintahkan (sunnah). Dan bahkan diwajibkan untuk menghindari kedzaliman.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Aththusi disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seorang di antara kamu menggauli isterinya, janganlah menghinggapinya seperti burung yang bertengger sebentar lalu pergi.” (HR. Aththusi)
Dalam riwayat lain disebutkan. “Janganlah kamu menggauli isteri sebagaimana unta atau keledai, tetapi hendaklah bercumbu dan bercengkerama terlebih dahulu”. (lihat 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press).
Maka disini sangat jelas bahwa bercumbu atau merayu agar pasangan berhasrat adalah perintah syara’ yang tidak tercela. Dan suatu keharusan bilamana hendak mengajak pasangan untuk bersenggama hendaknya sang pengajak itu mencumbui atau merayu yang diajak tersebut. karena pada umumnya sang pengajak berhasrat dan yang diajak belum tentu berhasrat, maka dari itulah bagi pihak yang tidak ada hasrat harus dibangkitkan hasratnya agar menghindari kedzaliman. Sunguh suatu yang tidak nyaman bilamana bersenggama salah satu pihak ada yang kurang berhasrat. Perkata ini berlaku bagi istri atas suami atau suami atas istri.
Dan bilamana sang istri mengajak sang suami atas hasrat istrinya, namun disatu sisi sang suami kurang berhasrat, ini suatu keharusan bagi sang istri untuk membangkitkan hasrat sang suami, baik dengan memakai pakaian ketat,mencumbui atau merayu dan ini adalah perkara makruf. Begitu pula suami jika hendak mendatangi istrinya.
Kemudian mengenai marayu dengan memberikan pemberian untuk meluluhkan hatinya, ini adalah perkara tercela dn dibenci oleh para ulama. Dan seharusnya seorang istri jangan bersedia jika dirayu dengan rayuan semacam ini. Pertama ini menyalahi adab,kedua menyerupai pelacuran, dan ketiga semua tubuh istri adalah hak penuh atas suami, tanpa ada pemberianpun seorang suami punya kuasa atas istri dan istri haram menolak sekalipun tanpa pemberian.
Syaikh Muhmmad At Tihami ulama yang mensyarah nazham Ibnu Yamun. Dalam Nazahm Ibnu Yamun dijelaskan bahwa memberikan kepingan dirham (bisa berupa emas,perhiasan atau barang menarik lainya) demi untuk melepas celana dalam istri (mengajak Jima’) adalah menyerupai pelacuran. Oleh karena itu sebaiknya sifat Tasyabuh ini ditinggalkan dan hendaknya berjalanlah sesuai sunnah dan adab yang baik.
Pemberian emas (mahar) pada wanita dalam islam hanya satu kali seumur hidup masa pernikan. Setelah mahar terbayarkan maka Farji’ wanita halal selama masa pernikahan masih sah. Dan bila menagajak untuk dikemanfaatkan farjinya sebagaimana mestinya. Sang suami tidak perlu memberikan pemberian berupa emas, dirham,uang atau harta berharga lainya demi bersedianya istri diajak berjima’. Berbeda adanya dengan tradisi orang barat (Romawi dan Persia[13]) yang tidak mengenal islam, para istri dijamanya layaknya pelacur meski ssudah menjadi istri yang sah, yaitu bilamana suaminya hendak memanfaatkan dirinya. Ia mensyaratkan mahar (pemberian) setiap kali akan Jima’. Hal itu berulang terus setiap suami mengajaknya Jima’ meski ia istrinya yang sah. (Lihat Shahih Fikih Sunnah)
Penulis kitab An-Nashihah berpendapat bahwa tidak perlu ada pemberian sesuatu dalam bentuk apapun dalam rangka membuka celana dalam istri jika hendak memanfaatkan tubuh istri. Karena itu menyerupai pelacuran. Dan hal itu adalah kebiasaan bangsa barat (Romawi dan Persia) selaku penyembah Dewa, yang senantiasa memberikan sesuatu pada istrinya yang sah setiap kali hendak berjima’. Maka dari itu kita dimintai menyelisihi orang-orang barat itu yang musyrik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ
“Selisihilah orang-orang Musyrik”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim ).
FATWA ULAMA FAS.
Penulis kitab Mudakhal menjelaskan. Pernah terjadi di kota Fas, pernah ada seorang suami sebelum memasuki istrinya dan meminta istrinya membuka celana dalamnya . Ia terlebih dahulu merayunya dengan memberikan kepingan-kepingan perak, kemudian sang istri baru bersedia membuka celana dalamnya dan berjima denganya. Kemudian perkara ini disampaikan pada Ulam Faz, kemudia memberikan Fatwa :” Sesungguhnya bila seorang suami memberikan pemberian dalam rangka merayu istri agar membuka celana dalamnya (maksudnya Jima’), maka ini menyerupai pelacuran. Dan perkara semacam ini harus dicegah-dilarang-HARAM.”
Semoga penjelasan ini memberikan kejelasan yang baik, sehingga kita semua bisa membedakan cara merayu yang baik dan cara merayu yang menyerupai pelacuran. Dan hendaknya seorang istri menjaga kehormatan dan harga dirinya dari penyerupaan sikap dan watak pelacur dalam masalah ini. Seorang istri yang baik harus paham akan hak dan kewajibanya atas perkara ini. ( الشُّبُهَات )
Maraji” :
· Al Jami’ Li Ahkaam Al Qur’an, Imam Al Qurtubi. Dar-Al Hadits. Mesir
· Al-Minhaj syarah Shahih Muslim . Imam Nawai. Jilid X. Dar-Al Hadits. Mesir
· Al Umm, Imam As Syafii . Jilid I. Dar-Fikr.Lebanon
· Fathu Barri, Syarah Haits Shahihah Imam Al Bukhari, Ibnu Hajar al Asqalani. Jilid IX. Dar-AlHadits. Mesir
· Faidhul Qadir, Imam Al Nawawi. Jilid X. Dar-Fikr. Lebanon
[1] Seorang ulama Hanbaliyah[2] Al-Mughni, 7/304.[3] Maksudnya yaitu salah satu fungsi nikah adalah untuk mencari kesenangan batiniah baik dari pihak pria maupun wanita. Dan juga demi menghindari bencana perzinahan baik dari pihak wanita maupun pria. Karena baik wanita dan pria sama-sama mempunyai naluri yang sama kuat.[4] Seorang ulama dari madzhab dzahiriyah . dimana madzhab dzahiriyah ini adalah memahami konteks hukum melaui metode tekstualitas. Pendiri madzhab ini bernama Al Imam Dawud az dzhahiri.[5] Al-Usratu wa ahkamuha fii tasyri’ al islam. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam.[6] Setelah saya cek pendapat Ibnu Hazm ini dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir, di dalamnya dijelasakan bahwa pendapat Ibnu Hazm ini cukup bisa diterima (kuat ). Yaitu bilamana istri selesai haid dan istri mandi maka hendaknya sang suami mencampurinya. Pendapat ini juga diambil oleh ulama mutaakhirin dan Imam Ghozali. Menurut saya (Fachmi Al Ghomawangiy); “pendapat ini adalah pendapat yang baik dan baik jika diamalkan karena selepas haid wanita berada pada masa ovarium (pembentukan sel telur baru). Yang selama masa haid hasrat wanita tertahan cukup lama (puasa) dan setelah selesai haid wanita kemudian menuju masa ovarium, masa ovarium ini pada umumnya diiringi hasrat yang cukup tinggi pada wanita disebabkan adanya proses ovarium tersebut. Dimana masa ini menumbuhkan hasrat yang tinggi pada wanita. Maka alangkah baiknya jika suami mencampurinya agar hasrat istri bisa diredam dan tersalurkan. Allahu’alam.”[7] Fiqih As-Sunnah, 7/123.[8] Al-Mughni. 7/303-304[9] Ibid. 7/304[10] Silahkan buka di www.as-syubhat.blogspot.com pembahasan tentang “hadits tertolak populer”.[11] Maksud dari “تُلاَعِبُهَا” disini adalah bercumbu. Ibnu Hajar menjelaskan arti “تُلاَعِبُهَا” ini adalah suatu kegiatan berciuman antara bibir dengan cara melumat atau menggigit bibir dan saling menghisap lidah dan masuknya air ludah antar kedua pasangan. Dan kemudian maksud dari “وَتُلاَعِبُكَ” dan bercumbu mesra denganmu ; artinya adalah Mubasyaroh, yaitu bersenang senang dengan saling bercumbu, berpelukan, meraba dan lainya sehingga dalam keadaan menempelnya kulit (telanjang). Namun tidak sampai Jima’(memasukan dan dimasukan). Hadits ini digunakan oleh para ulama perihal wajibnya Foreplay-pemanasan- sebelum Jima’.[12] Apa yang dimaksud saling masuknya air ludah . Maksudnya adalah bukan berarti pasangan saling meludahi mulut pasangan bukan. Namun maksud masuknya air ludah antar pasangan ini adalah sebuah keniscayaan dalam ciuman bibir dan menghisap lidah, maka dengan adanya kegiatan berciuaman seperti ini niscaya air ludah dari masing masing akan masuk kemulut pasangan. Dan inilah yang di maksudkan oleh para ulama. Sedang air ludah memiliki rasa yang khas yang mampu meningkatkan hasrat keduanya. Dan ciuman seperti inilah yang disunnahkan dan dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun bila hanya berciuman bibir saja tanpa ada proses menghisap lidah dan masuknya air ludah, maka ini bukan suatu yang afdhol. Allahu’alam[13] Dari dahulu sampai sekarang negeri persia adalah negeri paling tercela dalam adat dan budaya yang berkenaan tentang masalah wanita. negeri persia disinilah mulai lestari berhubungan liwath atas istri dimana menggauli istri dari arah belakang pada dubur. Dan dewasa ini negeri persia berubah wujud menjadi negeri syiah Iran. Dimana disana juga dilegalkan mode pelacuran berbasis agama ala syiah yaitu nikah mut’ah. nikah kontrak berbasik lacur. Saya tidak yakin jika wanita arab persi itu memiliki muru’ah (kehormatan) yang baik sehingga layak untuk dinikahi mengingat agama mereka adalah agama musyrik sebagimana jika dahulu agama mereka adalah majusi dan sekarang menjadi syi’i (syiah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar